Pasoepati

Pasoepati Satukan Tekadmu, Nyalakan Semangatmu, Persis Solo Kami Mendukungmu

Kamis, 05 Mei 2011

REVOLUSI PASOEPATI

Saya menulis dan mengcopy artikel ini tak bermaksud apa-apa, cuma saya cinta PASOEPATI, Saya ingin pasoepati menadi suporter yang santun, ramah, dan tertib.

Saya ini hanya ingin menyampaikan tentang artikel kwan saya pasoepati beni binti pini gini artikelnya mohon dibaca dan juga sebagian saya tambahkan

REVOLUSI PASOEPATI

Lebih dari sebelas tahun kita membumi; dibarengi kaburnya eksistensi dan lunturnya jati diri. Sampai kapan ini terjadi? Teriakan rasis, saling caci, dan saling maki tak pernah absen menggetarkan setiap penjuru Manahan, mer...usak indera pendengaran. Tawur, saling hajar, dan saling sikat dihalalkan untuk melegitimasi predikat, tak peduli antar kerabat.

Apa untungnya rasis?
Wajah kita tidak berubah tampan ketika tutur kita berteriak “Bajingan!”
Kita juga tak tampak pemberani, saat memaki suporter lain dengan sebutan “Tai!”
Lebih jauh, anak dan cucu kita lah yang akan mewarisi tingkah barbar kita.
Ideologi memang perlu ditegakkan dalam berorganisasi, tetapi jangan dibumbui dengan nilai-nilai anarki.

Minggu, 8 Mei 2011, Ksatria XI Solo FC akan menjamu Persebaya 1927 di Manahan. Pertandingan yang pasti sangat dinanti-nantikan oleh kedua suporter. Bukan menjadi rahasia umum lagi, rivalitas kedua suporter yang dahulu kerap menghiasi berbagai media massa dengan perseturuan yang menjurus anarki. Hubungan keduanya kerap mengalami pasang surut. Tetapi sekarang, kedua belah suporter seakan bersinergi atas dasar kesamaan nasib (korban kedzaliman PSSI) mencoba menyuarakan revolusi dalam tubuh PSSI dengan memboikot kompetisi resmi PSSI dan bergabung dengan LPI. Hingga sekarang, rivalitas keduanya seakan benar-benar mereda dengan adanya wacana “Pasoepati Bonek Bersaudara”. Bahkan, di Gelora 10 November Tambaksari, markas Persebaya 1927 sudah terdengar gegap gempita nyanyian dari arek-arek Bonek: “Pasoepati Solo kita saudara..Pasoepati Solo kita saudara…”
Jika Bonekmania cepat tanggap dalam menyambut wacana perdamaian ini, lain halnya dengan Pasoepati yang terlalu lama membiarkan terjadinya kemelut dalam tubuh intern Pasoepati yang pro dan yang kontra perdamaian. Jajaran tinggi Pasoepati seakan tutup mulut dalam merespons wacana perdamaian ini, kalaupun mereka membuka suara, suara mereka terdengar mengambang, tanpa kejelasan.
Apa faktor yang menyebabkan alotnya realisasi wacana perdamaian ini? Apakah karena dendam? takut kehilangan harga diri? atau takut dianggap mengkhianati ‘saudara’ kita?

Dendam?
“Jika mata dibalas dengan mata, maka semua orang akan buta”.
Mungkin wejangan Mahatma Gandhi ini perlu diecamkan di hati rekan-rekan Pasoepati. Jika kita begitu giat memelihara dendam, maka pada akhirnya dendam itulah yang akan membunuh kita. Tiada kemenangan yang diperoleh atas dasar dendam.
Rekan-rekan Pasoepati khususnya, dan warga Solo pada umumnya, seperti yang kita ketahui, perselisihan antara Pasoepati dengan Bonek ini hanya berdampak pada satu hal, yaitu “Kerugian”.
Bagaimana tidak, sekarang siapa yang diuntungkan dengan rusaknya rumah warga di pinggir rel? Siapa yang diuntungkan dengan terlukanya suporter bola, yang tak lain dan tak bukan adalah saudara kita juga, orang Indonesia? Siapa pula yang diuntungkan dengan hilangnya nyawa saudara kita? Perlu berapa lagi rumah yang hancur? Perlu berapa liter darah mengucur? Perlu berapa banyak nyawa melayang? Untuk menuntaskan dendam kalian?

Takut kehilangan harga diri?
“Kita tak akan pernah kehilangan harga diri, kecuali jika kita menjualnya”.
Sepertinya, telah terpatri di dalam hati kita, bahwa “berdamai dengan musuh = hilang harga diri”. Sungguh ironis, ketika tindakan mulia disamakan dengan menjual harga diri. Kita harus menghapus ajaran-ajaran sesat yang membekukan hati kita kedalam lembah kebodohan yang dangkal tiada bertepi.
Harus kita ketahui, harga diri tidak diukur dengan berapa banyak musuh kita, juga tidak diukur dengan banyaknya darah musuh yang mengucur, tetapi dengan jiwa kepahlawanan kita, sebagai Pasukan Soeporter Paling Sejati.
Menurut pendapat pribadi saya, yang layak dikatakan suporter tak berharga diri adalah mereka yang berani berkoar-koar, berteriak rasis, dan mencaci maki suporter lain di kandang sendiri. Tetapi tidak berani ‘ngluruk’ ke kandang suporter yang ia caci maki.
“Suporter Paling Sejati” adalah predikat yang tinggi, dan tidak semua orang patut menyandangnya. Yang namanya suporter sejati akan selalu ada ketika timnya berlaga (tak peduli akan bertandang ke kandang kadal maupun buaya), selalu ada ketika terpuruk dan dilanda duka, dan datang ke stadion untuk memberi dukungan, bukan malah menyuarakan virus kebencian dengan suporter lain yang tidak ada gunanya untuk kemajuan klub dan eksistensi supporter itu sendiri.

Takut dianggap mengkhianati ‘saudara’ kita?
Sepertinya blok-blok suporter di Indonesia tidak bisa disebut sebagai ‘saudara’, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai koalisi. Bagaimana tidak? Mau menjalin hubungan baik dengan hijau saja musti sungkan dengan biru. Bukankah ‘saudara sejati’ seharusnya saling mengayomi? Bukan saling ‘bolo-bolonan’ untuk saling menghabisi.
Suporter bukan politik! Kita musti mandiri. Hancurkan permusuhan, bubarkan koalisi! Karena koalisi hanya akan menghambat eksistensi. Lihatlah? Semakin lama kita membumi, apa yang dapat kita torehkan dengan koalisi? Banyaknya musuh atau prestasi?

*******
Jadi, Minggu 8 Mei 2011 adalah momentum bagi kita untuk mewujudkan perdamaian dalam sepakbola. Pasoepati dan Bonek adalah pelopor berdirinya supporter di Indonesia, tidak sepantasnya kita bertingkah laku layaknya balita. Biarlah 11 pemain kita saling sikat di lapangan, kita di belakang memberikan dukungan dengan tangan saling berjabat. Sinergi diantara kita akan membuat iklim baru dalam suporter Indonesia.

Wahai Presiden Pasoepati.. sesekali turunlah.. datang ke mimbar dirigen.. karena disanalah kami berkumpul dalam satu kesatuan, tiada yang dapat memecah belah... kemudian, beri tahu kami definisi Suporter Sejati.. beri tahu kami ideologi, visi, dan misi Pasoepati.. Kami lelah berjalan tanpa arah.. Kami lelah, terperangkap di jurang tanpa celah...

REVOLUSI... REVOLUSI... REVOLUSI PASOEPATI!

Pasoepati bukan hanya masalah kaos dan syal dengan harga mahal.
Pasoepati bukan sekadar membayar tiket pertandingan.
Pasoepati bukan tentang materi.
Pasoepati itu tinggi
Pasoepati adalah Pasoepati.

* Saya tidak memaksakan kehendak rekan-rekan Pasoepati dengan tulisan ini. Tulisan ini dibuat tidak dengan tujuan mengintervensi, hanya sebagai wujud curahan hati seseorang yang ingin menjadi Pasoepati, tetapi urung terjadi karena adanya tembok biru di Barat Jawa dan tembok hijau yang begitu tinggi di Timur Jawa yang tidak pernah bisa saya lewati (beni binti pini)

*Tambahan
MARI KITA JAGA KAWAN KEKOMPAKAN KITA DULU TUNJUKAN KALO PASOEPATI ANTI RASIS, TERTIB, SOPAN, ANTI ANARKIS, Motto itu semua sekarang sepertinya agak pudar oleh sebagian pasoepati. Tidakkah kita malu kalo menyanyikan SUSIS, SELALU EKSIS ANTI ANARKIS , Tapi kita masih saja terjadi perkelahian antar pasoepati. MERAH MERAH KITA PERBAIKI CITRA KITA SEBAGAI PASUKAN SUPORTER PALING SEJATI YANG MAU LUNTUR.